Nona
(English Translation Below)
Ketidakhadiran
guru adalah permasalahan yang mewabah di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia
tapi permasalahan ini begitu meresahkan khususnya di Provinsi Papua dan Papua
Barat. Walaupun ada banyak faktor yang terjadi yang mengakibatkan ini terlihat
tidak ada jalan keluar, seharusnya tidak ada alasan bagi anak-anak tidak
mendapatkan akses pendidikan yang layak. Pendidikan adalah hak yang seharusnya
disediakan bagi semua, namun di Papua, pendidikan masih menjadi kemewahan yang
eksklusif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh UNDP pada tahun 2010,
didapatkan data bahwa sebesar 32% anak-anak dibawah umur 15 tahun yang masih
belum bisa membaca. Studi lain yang dilakukan oleh UNICEF pada tahun 2012
menyatakan bahwa hampir separuh anak-anak usia sekolah dasar tidak bersekolah
di wilayah pegunungan di Papua, Indonesia. Walaupun ada kebutuhan yang sangat
mendesak mengenai pendidikan yang lebih baik, guru-guru juga masih jarang
ditemukan mengajar di sekolah. Berdasarkan studi yang sama yang dilakukan oleh
UNICEF, tingkat ketidakhadiran guru secara keseluruhan adalah 33,5% atau 1 dari
3 sekolah di seluruh Papua tidak ada guru yang hadir. Walaupun data ini
bukanlah data terbaru, saya bisa membuktikan fakta bahwa hanya sedikit yang
berubah dalam bidang pendidikan sejak tahun 2012.
Apa
penyebab tingginya ketidakhadiran guru? Pertama, buruknya kualitas pendidikan
sangat didukung oleh keadaan tidak termonitor dan tidak dikendali. Sebagian
besar guru tidak terus dipantau untuk mempertahankan tanggung jawabnya sehingga
dengan mudah mereka meninggalkan tempat mereka ditugaskan mengajar. Tapi memang
menjadi guru di pedalaman Papua bukanlah hal yang mudah. Fasilitas yang buruk,
sulitnya transportasi dan pendanaan yang minim membuat sangat sulit untuk hidup
sebagai guru PNS di pedalaman. Hal-hal
ini juga ikut menambah beban berat dalam tugas menjadi seorang pendidik, dan
seringkali lebih mudah untuk tetap hidup di kota, menjalankan usaha sendiri,
menyekolahkan anak sendiri di sekolah yang bagus, dan hidup lebih dekat dengan
wilayah kota. Sayangnya, kemewahan ini seringkali mengorbankan pendidikan di
Papua.
Penyediaan
pendidikan bagi anak-anak muda Papua adalah hal yang sangat penting karena ini
yang akan memberdayakan mereka dan akan memimpin mereka pada keberhasilan di
masa depan. Nelson Mandela, tokoh dunia yang tersohor pernah mengatakan,
“Pendidikan adalah senjata yang paling kuat yang bisa digunakan untuk mengubah
dunia.” Dan saya juga percaya bahwa tanpa pendidikan, orang-orang dimanapun
juga menjadi “tidak bersenjata”—dengan kata lain, untuk menyediakan kekuatan
bagi orang-orang untuk berkembang, mereka harus menerima pendidikan yang berhak
mereka terima. Kekuatan pria dan wanita bukan hanya berasal dari lengan dan
punggung, tapi juga dari pikiran dan hati. Pendidikan memperkuat orang-orang
muda secara keseluruhan sehingga mereka bisa memiliki pikiran yang kuat dan
mampu bersumbangsih kembali kepada masyarakat mereka. Pendidikan meningkatkan
kualitas kehidupan dan keluarga, juga memastikan kemajuan ekonomi dan sosial.
Saya
sudah memperhatikan seorang wanita muda bernama Carolina “Nona” Rahantoknam
selama beberapa tahun terakhir ini, dan mendapatkan inspirasi dari bagaimana
hatinya bagi anak-anak kecil dan generasi muda di Papua. Senyuman cerahnya,
kepribadian yang ramah dan hati yang besar untuk melayani orang-orang di
sekitarnya. Dia adalah guru fisika untuk anak-anak usia SMP dan SMA di distrik
Gome di Ilaga. Yang luarbiasa dari Nona adalah ketekunannya. Biasanya hanya dia
guru yang ada di semua SMA di Gome. Ini berarti peran semua guru lain
dibebankan di bahunya, dan ini peran yang sangat-sangat berat. Nona pernah
mengatakan pada saya bahwa pekerjaan ini seringkali begitu menekan dia tapi dia
tahu kalau bukan lewat dia, anak-anak tidak bisa belajar hal yang mereka
butuhkan, dan apa yang mereka bisa berikan bagi masyarakat juga berkurang. Jauh
dari kenyamanan keluarga dan teman masa kecil, jauh dari internet dan televisi,
dan jauh dari semua kenyamanan yang bisa ditemui di kota, perempuan ini, hidup
dan mengajar di kampung di pedalaman Papua demi masa depan anak-anak. Ini
adalah sifat pahlawan.
Ketika
banyak guru melalaikan tugas mereka di wilayah pedalaman Papua, meninggalkan
ruang kelas kosong dan murid-murid tanpa bimbingan, ada orang-orang seperti
Nona yang tetap mengajar melewati suka dan duka supaya anak-anak dapat belajar.
Guru-guru ini adalah pahlawan bagi saya, merekalah Rootsman yang seringkali
terlupakan. Mereka mau mengorbankan kehidupan yang mudah dan nyaman untuk
kemajuan anak-anak Papua. Kadang mereka yang melayani dengan setia lewat dari
pandangan kita. Hari ini saya ingin mereka dikenang. Kita berhutang begitu
banyak kepada para pahlawan yang sudah memberikan begitu banyak kepada
anak-anak kita.
Mungkin
sistem pendidikan di Papua telah rusak, tapi bukan berarti sama sekali tidak
bisa diubah. Masih ada harapan bagi anak-anak ini. Kisah bagaimana Nona
mengajar anak-anak di kampung terpencil,
mengingatkan kita bahwa masih ada harapan untuk pendidikan di Tanah
Papua. Orang-orang seperti Nona adalah contoh bagi kita semua yang terkadang
dengan egois menginginkan kehidupan yang nyaman. Walaupun pengorbanan bukan hal
yang mudah, jika itu diperlukan untuk kemajuan kehidupan orang lain, itu
berarti pengorbanan harus dilakukan oleh semua orang. Dengan melihat ketekunan
dan dedikasinya, semoga kita berkomitmen untuk memastikan anak-anak dan
orang-orang muda di sekitar kita, menerima pendidikan yang layak mereka terima,
seberapapun yang harus kita korbankan. Karena kita percaya jika kepintaran
orang Papua, beserta talenta dan dorongan dalam dirinya, yang jika diberikan
kesempatan, dapat mencapai tingkat pencapaian tertinggi, maka marilah kita
lakukan semua yang kita bisa untuk berjuang bagi pendidikan untuk anak-anak di
Tanah Papua. Nona adalah seorang Rootsman dan pahlawan bagi kita, dan kisahnya
membuat kita tetap bertahan.
-Translated by: Jerry Fakdawer
------------------------------------------------------------------------------------------
Teacher absenteeism is a problem
that plagues schools around Indonesia, but is especially upsetting in the provinces of Papua and Papua Barat. Although
there are many contributing factors that make this issue seemingly unsolvable, a seemingly, there should be no excuse for children’s
lack of access to a good education. Education is a right that should be provided for all, yet in Papua it seems to be an exclusive
luxury. According to research done by UNDP in 2010, it was identified that 32% of Papuan
children under 15 years of age were illiterate. A separate study conducted by UNICEF in 2012, said that almost (nearly)
half of primary school-aged children are not enrolled in school in the
highlands of Papua, Indonesia. Despite
this dire need for
better education, teachers are still very absent from the classroom. According
to the same study done by UNICEF, the overall rate of teacher absenteeism is
33.5%, or one in every three teachers across Tanah Papua. Although these
statistics are not current, I can attest to the fact that very little has
changed in terms of education since 2012.
What allows for this huge rate of absenteeism
to exist? Firstly, being
un-monitored and un-controlled contributes
greatly to this lack of quality education. Most teachers are not kept
accountable which leads to their
easy absence from their
assigned teaching locations. But it is not easy being a teacher in the remote schools of Tanah Papua. Poor
facilities, lack of transportation, and minimal funding makes it very difficult
to thrive as a government teacher. These contributing factors make teaching a heavy burden and
often it is much easier to simply live in the cities where they can run their
own business, put their kids into a good school, and be closer to the comforts
of the urban areas. Unfortunately,
these luxuries are often at the expense of Papuan education.
It is vital that Papuan youth are provided education because this leads
to their empowerment and future success. The greatly respected, Nelson
Mandela once said, “Education is the most powerful weapon which you can use to
change the world.” And I too believe that without education, people anywhere
are “weapon-less”. In other words, to provide others the power to develop and
thrive, they must receive the education
that they are entitled to. A man or women’s power does not solely come from his arms and
back, but also from his mind and heart. Education strengthens young people holistically so that they can
have strong minds and the ability to pour back into their communities. It
enhances the quality of life, family and ensures social, and economic progress.
Over
the past years, I have watched a young lady named Carolina “Nona” Rahantoknam and
have been inspired by her heart
for the Papuan kids and young people. She has a bright smile, an outgoing
personality and a big heart to serve the people around her. She is a physics
teacher to middle school and high school aged children in the Gome district of
Ilaga. What is extraordinary about Nona, is her perseverance. She is often the only teacher in the entire Gome high school. This means
the roles of other teachers are put on her shoulders which is incredibly hard.
Nona has told me that this sort of work is often stressful but she knows that
if it wasn’t for her, these kids would not get the learning they need, consequently
lack what is necessary to pour back into their communities. Far from the
comfort of family and childhood friends, away from internet and television, and
far from almost every luxury that can be found in the city, this single woman,
lives and teaches in this rural village for the sake of the children’s future.
This is heroic.
While
so many teachers shirk their roles in the rural and urban areas of Papua, leaving
schoolrooms empty and students without guidance, there are those such as Nona who stick it out through
the thick and the thin so that their students can learn. These teachers are my
heroes, they are the Rootsman that are too often forgotten. They are willing to
sacrifice an easy life for the empowerment of Papuan children. We often
overlook the teachers that serve faithfully. Today I want them to be remembered.
We owe our highest respect to these heroes who give so much for our children.
The
Papuan education system is broken but not irreversible. There is still hope for
our children. Nona’s story of teaching children in the remote village, reminds
us that there is hope for education in Tanah Papua. People like Nona are models
for the rest of us who often selfishly desire an easy life. Although sacrifice
is not easy, it often means that betterment of others, which is something
everyone should be willing to do. By seeing her perseverance and dedication,
may we commit to seeing boys and girls, young men and women receive the
education that they deserve, no matter how much we have to sacrifice. Because
we believe that Papuan brilliance, talent, and drive, if given a chance, can
reach the amazing heights of achievement, may we all do what we can to fight
for the education of the children of Tanah Papua. Nona is a Rootsman and our
hero whose story to keeps us going.
By: Dani Maxey
Nona Carolina adalah seorang yg baik. Selama mengenal dia, nona adalah orang yg setia dlm pelayanan, dan tidak pernah membeda-bedakan siapapun. Semua adalah satu dan keluarga. Semoga nona terus diberkati dalam misi pelayanannya utk generasi muda papua diwilayah pedalaman, dan boleh merasakan Kasih Kristus.
ReplyDeleteSaya tidak bisa menahan air mata saya membaca tulisan blog ini, mungkin saya yg terlalu cengeng. Saya kagum dengan rasa cintamu kepada tanah papua dan org2 papua... Jesus Bless you dani
ReplyDeletePlay at Harrah's New Orleans Casino - Missouri Hub
ReplyDeleteCome in at 의정부 출장샵 Harrah's New Orleans Casino with 안양 출장마사지 us! This stylish 서귀포 출장마사지 4-star hotel and casino 포항 출장안마 features 5 restaurants, 강릉 출장마사지 a casino,