Alonika
“Ika” Gobay
(English
Translation Below)
Pertama-tama, saya
ingin berterimakasih kepada teman-teman semua yang membaca tulisan-tulisan yang
saya tulis. Saya tidak tahu persis berapa banyak orang yang membaca ini tapi
saya tahu bahwa ada beberapa yang membaca dan untuk yang beberapa tersebut,
saya sangat bersyukur. Saya harap teman-teman terus didorong dan menerima
inspirasi melalui para Rootsman yang saya angkat kisahnya. Karena Papua begitu
dekat di hati saya, saya melihat ini sebagai satu dari banyak hal penting yang
bisa saya lakukan bagi Papua. Sangatlah penting bagi sebuah daerah untuk
memiliki pahlawan-pahlawan untuk itu saya ingin agar orang-orang Papua bisa
mengenal pahlawan-pahlawan mereka.
Kedua, saya ingin
mengajak teman-teman semua untuk bergabung dalam Project Rootsman Papua ini.
Kalau ada orang yang terlintas dalam pikiran kalian sebagai seorang Rootsman,
saya ingin kalian memposting gambar mereka di Instagram kalian dan berikan
hashtag #PapuanHeroes dan #PapuanRootsman. Untuk mengingatkan apa itu Rootsman,
Rootsman adalah mereka yang melakukan apapun yang mereka lakukan dengan sebaik
mungkin, dengan karakter mulia dan integritas, untuk kebaikan orang-orang yang
dalam hal ini, orang Papua. Kalau kalian melihat ada orang yang sesuai dengan
ketentuan tadi, silahkan share di Instagram kalian. Saya akan memilih salah
satu dari mereka dan me-repost kisah mereka di Instagram saya. Ingat, ini bukan
untuk orang-orang yang mau dikenal dan terkenal, tapi untuk mereka yang tidak
mendapat perhatian, mereka yang dengan sederhana dan rendah hati berfokus pada
perannya dalam masyarakat untuk perbaikan kehidupan di Papua.
Sekarang, saya
ingin bercerita tentang seorang wanita yang penuh dengan iman, yang menjadi
salah satu alasan mengapa saya memulai proyek ini. Alonika “Ika” Gobay berasal dari
Paniai, dilahirkan dan dibesarkan di Jayapura. Orangtuanya membesarkan ia dan 6
saudara-saudaranya (5 diantaranya sudah meninggal dunia). Ika ingat ketika ia
masih kecil, ia senang melihat pesawat yang terbang di udara melewatinya sambal
berharap suatu hari ia juga dapat naik pesawat. Mimpinya yang lain adalah dia
bisa pergi berkeliling Papua untuk membantu masyarakat di pedalaman dalam hal
kesehatan dan pendidikan.
Kini
kedua mimpi itu telah menjadi kenyataan. Ika menjelajahi Papua dengan kelompok dokter
gigi misionaris menggunakan jenis pesawat terbang apapun untuk menjangkau
daerah-daerah paling terpencil di Papua. Permasalahan gigi adalah fokus utama
Ika karena ini adalah masalah kesehatan yang cukup besar di pedalaman Papua.
Dengan mencabut gigi dan mengajarkan hal-hal kesehatan untuk pencegahan sakit
penyakit, Ika mewujudkan impiannya sambil memberi dampak langsung kepada orang
Papua. Jika dibandingkan dengan tindakan tanpa pamrih yang ia lakukan,
pendapatannya dapat dibilang cukup minim. Bekerja di pemerintahan bisa saja
memberikan gaji yang lebih besar tapi hatinya ada untuk melayani melalui
organisasi swasta yang berfokus pada kesehatan gigi. Hal
yang luar biasa dari Ika adalah selagi ia melakukan semua ini, ia mampu merawat
10 keponakan-keponakannya, anak-anak dari saudara-saudaranya yang telah
meninggal dunia. Ini bukan saja beban finansial yang sangat besar, tapi juga
beban secara fisik dan emosional. Ia bekerja berjam-jam melakukan perawatan
gigi dengan hanya 3 hari libur seminggu dan ketika pulang ke rumah, ia tanpa
pamrih mengasuh keponakan-keponakannya. Memang tidak ada jalan lain bagi Ika.
Ia melihat bahwa perannya menjadi ibu bagi keponakan-keponakannya sebagai
sebuah peran yang bahkan lebih penting dari pada pekerjaannya membantu
orang-orang Papua dengan masalah kesehatan gigi. Ada dua hal yang menyentuh hati saya ketika saya berpikir
tentang Ika. Pertama, ia rela melakukan apa saja untuk membantu orang-orang
yang benar-benar memerlukan perawatan gigi dan perawatan kesehatan umum. Dalam
wawancara saya dengan Ika, matanya mulai berkaca-kaca ketika ia mulai bercerita
tentang orang-orang di pedalaman yang benar-benar butuh perawatan gigi. Dia
menceritakan bahwa ada orang-orang yang bertahun-tahun harus menderita sakit
gigi yang begitu menyakitkan dan tidak
bisa melakukan apa-apa karena tidak ada akses pelayanan kesehatan gigi, bahkan
pelayanan kesehatan umum. Dalam wawancara saya dengan Ika, ia juga menegaskan
perlunya lebih banyak orang dan sumber daya yang diperlukan untuk membantu
masyarakat di pedalaman Papua. Kebutuhan disana dalam hal kesehatan gigi dan
kesehatan umum masih sangat besar. Ada begitu banyak uang di pulau ini yang
kadang ditangani dengan tidak baik sehingga uang tidak sampai kepada mereka
yang sebenarnya ditujukan, yang benar-benar memerlukan. Ketika saya menanyakan
Ika apa yang ingin dia katakan kepada setiap pekerja kesehatan yang bekerja
tanpa lelah di seluruh Papua; dia langsung menjawab, saya akan mengatakan
kepada mereka:
“Jangan lelah, jangan menyerah membantu masyarakat. Tidak
mudah memang membantu orang-orang melalui pelayanan kesehatan karena pekerjaan
ini adalah pekerjaan yang tidak menerima ucapan terima kasih, dan juga sangat
sulit karena begitu beragamnya kebiasaan dan bahasa. Karena kalau bukan kita
sendiri orang Papua yang membantu masyarakat kita, mau harap siapa lagi?”
Hal kedua yang
mencolok bagi saya tentang Ika adalah bagaimana ia dengan tanpa lelah gigih
merawat 10 keponakan-keponakannya. Sebagai wanita yang belum menikah dan tidak
punya anak kandung, dia mengasihi keponakan-keponakannya seperti anak-anaknya
sendiri. Dia ingin anak-anak ini bertumbuh dengan karakter yang baik dan
integritas. Ika tahu mereka memiliki potensi yang besar dan bisa bertumbuh
menjadi pemimpin-pemimpin besar. Tapi Ika juga menyadari bahwa dengan
pengasuhan yang buruk mereka bisa menjadi anak nakal yang selalu membuat
masalah. Karena itu, ia menginvestasikan semua energinya untuk memberikan
kepada mereka kasih dan kepedulian yang mereka perlukan.
Saya menanyakan
Ika, kalau ia diberi kesempatan untuk berbicara kepada orangtua-orangtua dan
mereka yang merawat anak-anak, apa yang akan ia katakan. Berikut adalah
jawabannya:
“Orang-orang muda, bahkan sebelum kalian menikah dan punya
anak, pikirkanlah bagaimana kalian akan membesarkan anak kalian. Seorang anak
membutuhkan begitu banyak kepedulian dan kasih yang jika tidak diberikan,
kalian akan mendapatkan masalah. Dan juga untuk kalian orang-orang muda,
hubungan seks bukanlah sesuatu hubungan yang bisa dialami diluar pernikahan.
Oleh karena beberapa dari kalian hamil sebelum ada ikatan pernikahan yang kudus
dan kuat ditahbiskan, kini anak-anak Papua kita dibesarkan dalam lingkungan yang
tidak sehat. Terakhir, untuk para orangtua: marilah kita berpikir mengenai
bagaimana kita bisa membangun anak kita dengan kata-kata yang positif. Kalau
kita terus memanggil anak-anak kita ‘babi’ atau ‘anjing’, pandangan mereka
terhadap diri mereka sendiri akan dipengaruh secara mendalam. Mereka diciptakan
dalam rupa Allah dan mereka harus diperlakukan seperti itu. Saya percaya
masalah yang berkaitan dengan kepercayaan diri yang rendah berakar dari
orangtua dan bagaimana mereka membesarkan anak-anak mereka. Anak-anak memiliki
hati yang lembut dan hati mereka dibentuk oleh apa yang kita katakan pada
mereka, oleh sebab itu kita harus berhati-hati dalam bagaimana kita berbicara
dan memperlakukan anak-anak kita.”
Saya terpukau
dengan apa yang saya dengar dari Ika. Walaupun dia belum menikah dan belum
punya anak kandung, dia berbicara dengan begitu jelas tentang merawat dan
membesarkan anak-anak dan pentingnya kasih dalam keluarga. Dia tahu bahwa
anak-anak dalam rumahnya adalah prioritas terbesarnya, bukan pekerjaannya.
Seberat apapun, merekalah fokus utamanya. Bunda Theresa pernah berkata, “kalau
kau mau mengubah dunia, pulanglah dan kasihilah keluargamu.” Saya rasa ini
cukup merangkum apa yang Ika katakan tentang memelihara sebuah keluarga.
Hal menjadi
seorang Rootsman tidak dilihat dari seberapa luar biasanya peranmu, tapi
bagaimana kamu menjalankan peranmu. Sederhananya, bukan apa yang kamu kerjakan
tapi bagaimana kamu mengerjakannya. Kurangi kebencian dan makin mengasihi orang
lain. Lakukan apa yang benar bagi orang-orang disekitarmu. Dalam hal Papua,
lakukan apa yang benar bagi Tanah ini, bagi anak-anak dan bagi kebudayaan asli.
Biar Ika menjadi teladan kita dalam mementingkan orang lain dan bukan
mementingkan diri sendiri.
Translated by:
Jerry Fakdawer
--------------------------------------------------------------------
Alonika “Ika” Gobay
First of all, I wanted to thank all
of you who read these write-ups that I do. I don’t know how many people read
these but I know that there are a few and for those few, I am very grateful. I
hope that you will continue to be encouraged and inspired through these
Rootsman that I highlight. Because Papua is so close to my heart, I see this as
one of the most important things that I do. It is so crucial that a land and
people have heroes and heroines and therefore I want Papuans to see theirs.
Secondly, I wanted to invite all of
you to join me in this Papuan Rootsman Project. If there is someone that comes
to mind who you see as a Rootsman, I want you to post a picture of them on your
Instagram feed and hashtag #papaunheroes and #papuanrootsman. Just to remind
you what a Rootsman is; a Rootsman is someone that is doing what they do with
the best of their ability, with character and integrity, for the good of their
people, in our case, Papua. If you see someone who fits these guidelines,
please share about them on your Instagram. I will pick one of these people and
Repost their story on my Instagram. Remember, this is not someone who you want
to be recognized but someone who is not looking for attention and is simply and
humbly focused on his or her role in society and the betterment of Papua.
That being said, I want to tell you
all about a faith-filled woman that was one of the reasons that I started this
project in the first place. Alonika “Ika” Gobay from Paniai was born and raised
in Jayapura. Her parents raised her and 6 other brothers and sisters (5 of whom
have passed away). As a young girl, Ika remembers looking up at the planes as
they would fly by wishing she could one day fly on a plane as well. Her other
dream was to be able to travel around Papua helping people in remote areas with
health and education.
Today
both of those dreams have become a reality. Ika travels Papua with a missionary
dentist on every kind of aircraft to the most remote parts of Papua. As dental
issues are a big problem in the remote areas of Papua, this is her focus.
Pulling teeth and teaching preventative health, she is fulfilling her dreams
while impacting the people of Papua. Her income is minimal for the selfless
work that she does. A government job would bring a much larger salary but her
heart is for serving through a private organization that focuses on dental
health.
The
remarkable thing about Ika is that while she does this, she has been able to
care for her 10 nieces and nephews, the sons and daughters of her deceased
siblings. This is not only a huge financial burden, but also an emotional and
physical burden. She works long hours doing dental care with only three off
days a week and when returning home, selflessly loves her 10 nieces and
nephews. Ika would have it no other way though. She view her role of mothering
her nieces and nephews as role that even more important then her job helping
people around Papua with dental health.
Two
things touch my heart when I think about Ika. Firstly, she is willing to do
almost anything in order to help her people who desperately need dental care
and medicare in general. In my interview with her, Ika’s eyes started watering
when she started talking about the people in the villages who so badly need
dental care. She said there are people that, “we see who have had horrible pain
for years and cannot do anything about it because there is no access to dental
care and even basic medical care”. In my
interview with Ika, she also highlighted the need for more people and recourses
to help in the remote areas of Papua. The needs in the area of dental and
medical care are huge. There is so much money on this island yet some of it is
mishandled therefore oftentimes, money doesn’t reach the people it was intended
for.
When
I asked Ika what she would say to the health workers who tirelessly serve
around Papua if she had the chance, she responded quickly. She said, I would
tell them:
“Do not get
tired, do not give up helping the people. It is not easy helping the people in
through health care because it is a job that is thankless and very difficult
due to the diversity of culture and language. If we as Papuans do not help our
own people though, who will.”
The second thing that stood out to
me about Ika is how she so tirelessly perseveres with her 10 nieces and
nephews. As a single woman with no children, she loves her nieces and nephews
like her own. She wants these kids to grow up with good character and integrity.
Ika knows that they have great potential and could grow up to be great leaders.
But Ika is also congnasent that with poor parenting they could become
delinquent trouble-makers. Because of this, she invests all her energy into showing
them the love and care they need.
I
asked Ika, if given a chance, what would she say to parents and care givers of
children. This was her response:
“Young people,
even before you are married and have kids, please think about how you will
raise that child. A child needs so much care and love and if it is not given to
them, you will have a problem on your hands. And also, to you young people, sex
is not something for outside of marriage. Because some of you are getting
pregnant before a strong, sacred marriage is established, our Papuan kids are
being raised in an unhealthy environment. Lastly, a message for parents: Let’s
think of how we can build up our children with positive affirmation. If we call
our kids “pig” or “dog”, their self-image will be deeply affected. They are
creations of God and must be treated so. I believe that the self-esteem
problems that we see here in Papua stem from parents and how they raise their
children. The hearts of children are soft and are shaped by what we say to them
therefore we must be so careful how we speak to and treat our children.”
I was blown away by what I heard
from Ika. Although she is single and has no children of her own, she spoke with
such clarity about raising children and the importance of love in her family.
She knows that the kids in her home are her biggest priority too, not her work.
As hard as it is, that is her focus above all else. Mother Theresa once said,
“If you want to change the world, go home and love your family”. I think this
pretty much sums up what Ika said about raising a family.
The
thing about being a Rootsman is it’s not your role that is extraordinary but
the way in which you carry out that role. To simplify that: It’s not what you
do but how you do it. Keep the hate at a minimum and the love at a maximum. Do
what is right for the people around you. In the case of Papua, do what is right
for the land, the children, and the indigenous culture. Take Ika as an example
and think less of yourselves and more of others.
By: Dani
Comments
Post a Comment