Markus Rumbino
(English translation below)
Apa
yang akan kita lakukan jika kita tidak punya jati diri? Apa yang akan kita
lakukan jika nyanyian leluhur kita hilang? Apa yang akan kita lakukan jika kita
tidak tahu bagaimana nenek moyang kita menari setelah memenangkan peperangan?
Tidak cukup bagi kita untuk sekedar tahu tarian dari negara lain. Benar-benar
tidak cukup. Kita perlu tahu apa yang
masyarakat kita sendiri lakukan, atau pernah lakukan. Saat ini, sementara kita
sedang berbicara, cara hidup orang-orang yang hidup sebelum kita, mulai
menghilang. Perlu ada perhatian yang lebih mengenai hal yang pernah mereka
lakukan, lagu yang pernah mereka nyanyikan, dan tarian yang mereka tarikan.
Kita perlu menjunjung akar yang telah mereka tanamkan begitu dalam supaya
generasi demi generasi setelah kita bisa berbangga dalam budaya kita sendiri.
Seseorang
yang sungguh-sungguh berusaha memastikan bahwa akar tersebut tidak dilupakan adalah
pria bernama Markus Rumbino. Lahir dan dibesarkan di Jayapura, Markus sekarang
adalah seorang dosen di ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) Tanah Papua di
Program Studi Seni Musik. Dia senang melakukan penelitian terhadap musik Papua;
merekam suara alat-alat musik, suara-suara dan lagu-lagu yang dalam
pandangannya akan segera punah. Saat ini ia sedang menulis sebuah buku mengenai
Musik Papua dan melalui buku tersebut, ia ingin menyorot keindahan dari
keberagaman musik di Tanah Papua. Saya berkesempatan menemui orang yang luar
biasa ini dan berbincang dengan dia mengenai arah Papua ke depan dalam hal
musik dan kepunahan budaya. Kata-katanya betul-betul mendalam dan dia begitu
berpengetahuan luas. Saya ingin menunjukkan kepada kalian apa yang ia katakan pada
saya ketika saya mewawancarainya. Berikut adalah kata-katanya:
“Dalam hal budaya
Papua, saya yakin bahwa setiap aspek dari budaya memainkan peran yang besar
dalam identitas dan harga diri dari orang Papua. Juga, saya yakin bahwa tidak
ada budaya yang statis dan bahwa ketika kita memotret budaya Papua hari-hari
ini, akan terlihat sangat berbeda dengan budaya Papua puluhan tahun lalu.
Permasalahannya bukan karena budaya Papua yang berubah, tapi kebudayaan ini
terkikis habis-habisan. Kini kita berada di jaman yang berbeda dengan 10 atau
20 tahun yang lalu. Lihat saja di
sekitar kita. Tarian dan musik yang dulu adalah sebuah keseharian makin jarang
ditemukan hari ini. Begitu jarang sampai kalau ada acara kebudayaan, semua
orang mengeluarkan ponsel mereka untuk merekam karena mereka belum pernah
melihat atau mendengar apa yang sedang dilakukan.
Ahli Musik telah
membagi pulau ini ke dalam 7 Wilayah Adat. Dalam salah satu wilayah ini
terdapat wilayah Tabi, terdiri dari 80 suku. Ini berarti terdapat 80 jenis lagu
dan tarian yang berbeda yang hari ini tidak bisa kita dengar atau lihat karena
lagu dan tarian tersebut belum terekam dan lenyap dengan cepat. Tabi hanya satu
wilayah yang lebih kecil dibandingkan dengan wilayah lain yang memiliki 100
suku bahkan lebih. Di daerah pegunungan, ada banyak sekali—banyak sekali
suku-suku yang tarian dan musiknya belum direkam. Ada ratusan kebudayaan yang
saling berbeda yang mana lagu-lagu mereka belum direkam dan kebudayaannya juga
semakin sekarat. Kita belum membahas kegiatan kebudayaan lain seperti menari,
kesenian, teknik berkebun, permainan, dan banyak lagi aspek kebudayaan lain.
Ini alasan mengapa
saya benar-benar fokus melakukan apa yang saya lakukan, selalu pergi ke
kampung-kampung dan bertemu dengan orang-orang tua hanya untuk berbincang
dengan mereka mengenai lagu-lagu dan tarian-tarian yang pernah mereka lakukan.
Saya rasa ini adalah tugas saya. Beberapa minggu lalu, saya bertemu dengan
seorang mama dari suku Sentani yang adalah orang terakhir di daerahnya yang
mampu menyanyikan nyanyian Helahi (nyanyian sakral untuk ratapan) yang
dinyanyikan saat penguburan kepala suku atau orang-orang penting. Di antara
semua orang di kampungnya, hanya tinggal dia yang tahu lagu-lagu ini. Semua yang
dari generasinya dan generasi sebelum dia sudah meninggal dan generasi
setelah dia tidak begitu peduli kepada lagu-lagu adat. Cerita-cerita seperti
ini membuat saya paham bahwa saya harus bertemu dengan banyak orang dan merekam
lagu-lagu dari berbagai suku dan wilayah di Papua. Ini adalah hati saya. Saya
tidak punya sponsor dan tidak ada yang membantu saya dalam pendanaan untuk hal
ini. Saya lakukan ini semua atas dasar cinta saya kepada budaya Papua dan
hasrat saya untuk melihat kebudayaan Papua tetap ada. Yang saya lakukan hanya
berfokus pada sisi musiknya. Saya sebenarnya juga ingin ada orang lain yang
juga mendokumentasikan aspek lain dari kebudayaan seperti teknik bercocok-tanam
atau pembuatan kerajinan tangan…
Jika kita tidak
menyadari fakta bahwa keseluruhan kebudayaan kita adalah sesuatu yang penting,
identitas kita sebagai sebuah bangsa akan menghilang. Untuk mencegah hilangnya
identitas pada generasi Papua selanjutnya, kita perlu waspada dan melakukan
apapun yang bisa kita lakukan. Jika kita bicara tentang musik Papua, seringkali
orang berpikir tentang musik ‘Populer’ Papua. Masalahnya ketika kita mulai
bicara tentang ‘populer’ kita mulai berpikir tentang diri sendiri. Ini
berbahaya. Bagaimana kalau kita berhenti memikirkan tentang diri kita sendiri
dan mulai memikirkan tentang generasi setelah kita! Tujuannya bukan untuk saya,
bukan untuk kita, tapi tentang generasi di masa depan. Jangan kita sekedar
mencari popularitas lewat musik seperti yang banyak dilakukan orang. Musik yang
baik memang penting tapi kita juga perlu ingat darimana musik kita berasal;
akar dari musik yang kita nikmati hari ini. Pertanyaan saya adalah jika kita
terlalu fokus dalam menjadikan musik kita ‘populer’ sehingga ‘disenangi banyak
orang’, apa yang akan terjadi dengan ribuan lagu adat dari ratusan
Bahasa—lagu-lagu tersebut akan menghilang…
Dari budaya saya
hidup. Saya hidup karena budaya memberikan saya harapan di masa lalu dan
harapan untuk masa depan. Budaya telah memberikan kepada saya begitu banyak
hal. Budaya adalah apa yang saya pikirkan, apa yang saya makan, apa yang saya
mainkan, apa yang saya nyanyikan. Budaya adalah kebanggaan dari suatu bangsa
dan alasan untuk tetap ada. Keindahan budaya Papua begitu berharga sampai saya
rela melakukan apapun untuk memastikan budaya Papua tidak hilang.”
Kata-kata
ini membuat saya terpukau. Saya dihujam begitu banyak hal dalam waktu
bersamaan. Markus melontarkan begitu banyak ide secara bersamaan sampai saya
harus diam sejenak untuk mencerna semuanya. Saya tahu Markus benar. Walaupun
orang lain tidak peduli, kita peduli terhadap budaya kita karena itu adalah
identitas kita. Kita harus melihat semua aspek dalam budaya Orang Papua
sebagaimana Markus melihat Musik Papua. Kita juga harus mempertahankan
kebudayaan Papua dalam bagian kita masing-masing. Tanyakan kepada bapa atau
mama tentang apa yang diajar oleh generasi sebelum mereka. Tulis apa yang mereka
sampaikan. Perhatikan seksama apa yang tete dan nene sampaikan kepadamu. Rekam
suara tabuhan gendang yang dimainkan pamanmu. Perhatikan baik-baik ketika ada
tarian Yosim atau Etai sedang ditampilkan. Tanpa kita sadari, hal tersebut bisa
saja punah. Kita harus melakukan apapun yang bisa kita lakukan untuk mencegah
kebudayaan tersebut habis terkikis. Apapun yang tersisa, mari kita pertahankan
dengan semua yang kita punya. Jadilah seorang Rootsman!
Translated by: Jerry Fakdawer
Markus Rumbino
What
do we do if the we have no identity? What do we do if the songs of our
ancestors are lost? What do we do if we no longer know how our grandmothers and
grandfathers danced after victory in battle? It is not enough to know the
dances of other countries. That does not cut it when it comes… we have to know
what our people do or did. Right now, as we speak, the ways of the people who
have gone before us, are dying out. There must be more regard for the things they
did, the songs they sung and the dances they danced. We must hold in high
esteem the roots they have grown deep into the earth so that generations after
we can have pride in our culture.
Someone
who is trying hard to make sure that roots are not forgotten is a man by the name
of Markus Rumbino. Born and raised in Jayapura, Markus now works as a lecturer
at the campus of ISBI (don’t know the perpanjangan) Tanah Papua in the
department of music. He likes to do research on Papuan music; recording
instruments, sounds and songs that
according to him will soon be extinct. He is currently writing a book on Papuan
music in which through it, plans on highlighting the beautiful diversity of
Papuan music. I had the pleasure of meeting this amazing man and talking with
him about the way Papua is headed in terms of music and cultural extinction.
His words were so profound and he was so knowledgeable I want to tell you what
he told me in his interview. The following are his words:
“In
terms of Papuan culture, I am sure that every aspect of this culture plays a
big role in the identity and self-worth of the Papuan people. Also, I am sure
that no culture is static and that to take a snapshot of Papuan culture today,
it would look very different than Papuan culture years ago. The problem is not
that Papuan culture is morphing, it is that it is completely being eroded away.
Today we are in a different age than 10, 20 years ago. Look around you. What
used to be an everyday thing in terms of dance and music, is rarely seen today.
So rare that when people have any kind of cultural event, everyone pulls out their
phones to record because they have never seen or heard what is being done.
Musicologists
have split the island into 7 regions of culture. Within one of these regions Tabi, there are more than 80 clans. This
means that there are also 80 different types of songs and dance that today we
can no longer listen to or see because they have not been recorded and are
quickly vanishing. Tabi is one of the
smaller regions compared to those that have 100 or more different clans. In the
highlands, there are many many tribes that have no recorded music or dance. There
are hundreds of distinct cultures that have songs that have not been recorded which
are also dying out. We haven’t even discussed other practices such as dancing,
art, gardening techniques, games and many more aspects of culture.
That is the reason that I am so
focused on doing what I do, always going to villages and meeting with the
elderly people in order to simply talk with them about the songs and dances
that they used to do. I feel like it is my duty. A few weeks ago, I met with an
elderly women from the Sentani tribe who is that last individual in her area
that is able to sing songs of Helahi (sacred
songs of lament) that were sung at the funerals of chiefs and important people.
Out of everyone in her village, she is the only one who knows these songs. Her
generation and the generation before have all died out and the generation after
her could care less about ancient songs. Stories like these make me know that I
must meet with many people and simply record the songs of the different clans,
tribes, and regions of Papua. That is where my heart is. I do not have sponsors
or people that are giving me anything for this. I am doing this because of my
love for Papuan culture and my desire to see it continue. What I can do is merely
focus on the music side of things. I want there to be others though that are
documenting other aspects of culture such as agricultural techniques or handicraft-making…
If we are not aware of the importance of our culture, we as a people will disappear. To
prevent the next generation from being without identity, this generation must be aware and do everything that we can. If we talk on the
lines of Papuan music, too often people think about the “popular” Papuan music.
The problem with this is that when you start talking about “popular” you start thinking
about yourself. This is dangerous. Why don’t we stop thinking about ourselves
and start thinking about the next generation! The goal is not us or mine but the
ones that will come after. Let’s not always look for popularity through music
as too many have done. Good music is important but we must also remember where
our music came from; the roots of the music we have today. My question is that
if we are too focused on making music that will be “popular” that the “people
will like”, what will happen to the thousands of songs from hundreds of
cultures. They may vanish…
From culture, I live. I live because
culture gives me hope in the past and also a hope for the future. Culture has
given me so much. It’s what I think, eat, play and sing. Culture is the pride
of a people and the reason to keep on. The beauty of the culture of Papua is so
of worth, that I am willing to do anything to make sure that it does not vanish.”
These
words blew me away. Markus threw so many
ideas at me at once that it took me a while to process. But I know that Markus
is right. No matter how much others do not care, we must care of our culture
for it is our identity. We must see all aspects of Papuan culture the way
Markus sees Papuan music. We must also do what we can, simply our part, in
preserving the Papuan culture. Ask your mothers and fathers what they were taught
by the generation before them. Write down what they tell you. Pay attention to
your grandfather when he speaks. Record your uncles when they beat the drum. Watch
closely when a Yosim dance or an Etai dance is being performed. Before we know
it, these things could be gone. We must do everything in our will to prevent
them from being completely eroded. Whatever we have left, let's protect it with
all we got. Be a Rootsman!
By: Dani Maxey
Comments
Post a Comment